jelajahhijau.com Dalam upaya mencapai target Net-Zero Emission (NZE) 2060, Indonesia terus mencari sumber energi bersih yang mampu menggantikan bahan bakar fosil. Salah satu inovasi yang kini menjadi sorotan adalah hidrogen hijau, yang disebut memiliki peran penting dalam mendukung transisi energi, khususnya di sektor industri dan transportasi berat.
Lembaga riset energi terkemuka, Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai hidrogen hijau sebagai salah satu solusi paling realistis untuk mendekarbonisasi sektor-sektor yang sulit dikurangi emisinya melalui teknologi konvensional. Namun, di balik potensi besar tersebut, biaya produksi hidrogen hijau yang masih tinggi menjadi tantangan besar yang perlu segera diatasi.
Apa Itu Hidrogen Hijau?
Hidrogen hijau adalah hidrogen yang diproduksi menggunakan proses elektrolisis air dengan sumber listrik dari energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, atau panas bumi. Proses ini berbeda dengan hidrogen abu-abu atau hidrogen biru, yang masih bergantung pada bahan bakar fosil dan menghasilkan emisi karbon.
Karena menggunakan energi bersih, hidrogen hijau dianggap sebagai bahan bakar masa depan yang paling ramah lingkungan. Gas ini bisa digunakan untuk menggantikan batu bara dan minyak di sektor industri berat, transportasi jarak jauh, hingga pembangkit listrik.
Menurut IESR, keunggulan utama hidrogen hijau terletak pada fleksibilitas penggunaannya. Ia bisa disimpan dalam bentuk cair, digunakan langsung sebagai bahan bakar, atau dikonversi menjadi amonia hijau yang lebih mudah didistribusikan.
Tantangan Biaya Produksi
Meskipun potensinya besar, produksi hidrogen hijau masih terhambat oleh biaya yang sangat tinggi. Saat ini, biaya produksinya berkisar antara US$6 hingga US$8 per kilogram, jauh di atas biaya produksi hidrogen abu-abu yang hanya sekitar US$1 hingga US$2 per kilogram.
Menurut riset IESR, tingginya biaya ini berasal dari harga peralatan elektroliser yang masih mahal dan kebutuhan energi listrik yang sangat besar. Karena itu, tanpa dukungan kebijakan dan insentif dari pemerintah, sulit bagi hidrogen hijau untuk bersaing secara komersial di pasar energi global.
“Jika Indonesia ingin mempercepat transisi ke energi bersih, maka hambatan biaya harus segera dipecahkan. Pemerintah perlu memberi dukungan nyata agar teknologi hidrogen bisa dikembangkan secara efisien,” ujar salah satu peneliti IESR dalam forum diskusi energi terbaru.
Peran Strategis untuk Indonesia
Bagi Indonesia, hidrogen hijau bukan hanya peluang untuk mencapai target netral karbon, tetapi juga bagian dari strategi ketahanan energi nasional. Dengan potensi energi surya dan angin yang besar, Indonesia memiliki sumber daya melimpah untuk memproduksi hidrogen hijau secara mandiri.
IESR memperkirakan, wilayah-wilayah seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Papua memiliki potensi tinggi untuk menjadi pusat produksi hidrogen hijau di masa depan. Daerah-daerah ini memiliki intensitas sinar matahari tinggi dan ketersediaan lahan luas untuk pembangunan pembangkit energi terbarukan.
Selain itu, hidrogen hijau juga bisa menjadi komoditas ekspor baru. Negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman sudah menunjukkan minat besar terhadap impor hidrogen bersih dari kawasan Asia Tenggara. Ini membuka peluang ekonomi besar bagi Indonesia, asalkan mampu menekan biaya produksi dan membangun infrastruktur pendukung.
Dukungan Kebijakan dan Kolaborasi
Untuk mewujudkan potensi tersebut, IESR menekankan pentingnya kebijakan nasional yang jelas dan konsisten. Pemerintah perlu menyiapkan peta jalan (roadmap) pengembangan hidrogen hijau yang mencakup riset, pendanaan, serta kemitraan dengan sektor swasta.
“Pemerintah harus memastikan keberlanjutan regulasi dan menciptakan iklim investasi yang menarik bagi pengembangan hidrogen hijau. Tanpa kebijakan yang kuat, sulit bagi investor untuk menanamkan modal dalam teknologi baru yang berisiko tinggi,” ungkap laporan IESR.
Selain dukungan pemerintah, kolaborasi internasional juga menjadi kunci. Pengembangan hidrogen hijau membutuhkan transfer teknologi dan pendanaan dari negara-negara yang sudah lebih maju. Beberapa lembaga internasional telah menunjukkan minat untuk bekerja sama dalam proyek energi hijau di Indonesia, termasuk pendanaan riset dan pembangunan pilot project hidrogen hijau.
Integrasi dengan Industri dan Transportasi
IESR menilai bahwa sektor industri dan transportasi berat akan menjadi pengguna utama hidrogen hijau di masa depan. Sektor-sektor ini sulit didekarbonisasi karena membutuhkan energi dalam jumlah besar yang tidak bisa sepenuhnya dipenuhi oleh listrik dari sumber terbarukan.
Industri seperti baja, semen, dan pupuk berpotensi besar menggunakan hidrogen hijau sebagai pengganti bahan bakar fosil. Begitu pula dengan sektor transportasi laut dan udara yang membutuhkan bahan bakar berenergi tinggi.
“Jika teknologi hidrogen berhasil diterapkan secara luas, maka industri berat dan transportasi bisa menjadi jauh lebih ramah lingkungan,” kata perwakilan IESR dalam forum energi transisi.
Hambatan Infrastruktur dan Teknologi
Selain biaya, hambatan lain yang dihadapi adalah kurangnya infrastruktur penyimpanan dan distribusi. Hidrogen membutuhkan sistem transportasi khusus karena sifatnya yang mudah menguap dan bertekanan tinggi.
Indonesia perlu membangun jaringan infrastruktur dari hulu ke hilir, termasuk fasilitas elektrolisis, penyimpanan cair, hingga terminal distribusi. Semua itu membutuhkan investasi besar dan waktu panjang.
Selain itu, riset mengenai teknologi efisiensi energi dalam proses elektrolisis masih terus berjalan. IESR menilai perlu adanya kolaborasi antara pemerintah, universitas, dan sektor swasta untuk mempercepat pengembangan teknologi lokal yang lebih murah dan efisien.
Menuju Ekonomi Hidrogen Nasional
Meski tantangan masih banyak, IESR optimistis bahwa Indonesia mampu menjadi pemain penting dalam ekonomi hidrogen global. Dengan strategi yang tepat, hidrogen hijau bisa menjadi sumber energi masa depan yang mendukung pembangunan ekonomi dan menjaga kelestarian lingkungan.
Langkah pertama yang dibutuhkan adalah menekan biaya produksi melalui inovasi teknologi dan dukungan kebijakan fiskal. Pemerintah juga perlu menetapkan target jangka menengah yang realistis agar investor memiliki arah yang jelas.
“Dengan potensi energi terbarukan yang besar dan posisi strategis di Asia, Indonesia bisa menjadi salah satu pusat produksi hidrogen hijau di kawasan,” tulis laporan IESR.
Penutup: Energi Masa Depan yang Layak Diperjuangkan
Hidrogen hijau adalah simbol dari masa depan energi bersih Indonesia. Meskipun biaya produksinya masih tinggi, manfaat jangka panjangnya bagi lingkungan, industri, dan ekonomi jauh lebih besar.
Dengan komitmen kuat dari pemerintah, dunia usaha, dan lembaga riset, hidrogen hijau dapat menjadi tulang punggung transisi energi nasional. Langkah menuju Net-Zero Emission 2060 bukan lagi sekadar visi, tetapi bisa menjadi kenyataan bila inovasi dan kebijakan berjalan seiring.

Cek Juga Artikel Dari Platform beritabandar.com
