jelajahhijau – 1. Harapan yang Belum Tersampaikan
Sudah lebih dari dua tahun berlalu sejak bencana alam besar melanda wilayah ini, namun sebagian penyintas masih bertahan di hunian sementara (huntara). Di antara deretan bangunan semi permanen itu, kehidupan tetap berjalan dengan segala keterbatasannya. Sejumlah keluarga harus berbagi ruang sempit berukuran tidak lebih dari 4×6 meter, sementara anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang belum sepenuhnya layak.
Meski pemerintah daerah telah menjanjikan percepatan pembangunan hunian tetap (huntap), kenyataannya banyak keluarga yang belum menerima kejelasan mengenai kapan mereka bisa menempati rumah baru. Sejumlah penyintas mengaku mulai kehilangan harapan karena proses relokasi yang lamban dan minimnya sosialisasi dari pihak berwenang.
“Saya tidak tahu kapan bisa pindah ke rumah tetap. Katanya tahun ini, tapi belum ada kabar lagi,” ujar Rani, salah satu penyintas yang masih tinggal di Huntara Desa Lembah Harapan.
2. Kondisi Fasilitas yang Kian Memprihatinkan
Kondisi huntara kini semakin memprihatinkan. Dinding-dinding papan mulai lapuk, atap bocor saat hujan, dan sanitasi yang buruk membuat lingkungan tidak sehat. Beberapa fasilitas umum seperti pos kesehatan dan tempat ibadah juga mengalami kerusakan karena usia bangunan yang sudah melewati batas ideal.
Selain itu, akses air bersih menjadi persoalan serius. Warga harus bergantian mengambil air dari sumur yang debitnya semakin menurun. Dalam situasi seperti ini, penyakit kulit dan infeksi saluran pernapasan menjadi ancaman yang terus menghantui, terutama bagi anak-anak dan lansia.
“Kalau hujan deras, air bisa masuk ke dalam kamar. Kami hanya bisa menambal dengan plastik atau seng bekas,” kata Harun, warga lainnya yang sudah tiga tahun tinggal di huntara.
3. Upaya Pemerintah dan Tantangan di Lapangan
Pemerintah daerah sebenarnya telah menyiapkan beberapa program relokasi dan bantuan rehabilitasi. Namun, keterbatasan anggaran dan tumpang tindih data penerima membuat prosesnya berjalan lambat. Sejumlah lokasi yang direncanakan menjadi kawasan huntap masih terkendala izin lahan dan kesiapan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, serta air bersih.
Menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), pihaknya terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk mempercepat pembangunan. “Kami memahami kondisi masyarakat yang sudah terlalu lama menunggu. Tapi kami juga harus memastikan lokasi relokasi aman dari risiko bencana baru,” ujarnya.
Ia menambahkan, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa seluruh penyintas mendapat hak yang sama, tanpa ada yang tertinggal akibat masalah administratif.
4. Ketahanan Sosial di Tengah Keterbatasan
Meski hidup dalam kondisi serba terbatas, solidaritas antarwarga tetap terjaga. Mereka saling membantu memperbaiki hunian, mengadakan kegiatan keagamaan, dan menjaga anak-anak agar tetap bersekolah. Beberapa organisasi kemanusiaan juga masih aktif memberikan pendampingan psikososial serta bantuan logistik.
Para ibu di huntara bahkan memanfaatkan ruang kosong di sekitar tempat tinggal untuk menanam sayuran dan membuat kerajinan tangan guna menambah penghasilan keluarga. “Kami tidak bisa terus menunggu bantuan. Harus tetap berusaha agar anak-anak bisa makan dan sekolah,” ujar Siti, salah satu warga yang aktif dalam kelompok perempuan penyintas.
Kehadiran berbagai komunitas relawan juga menjadi penyemangat bagi warga untuk terus bertahan, meski masa depan mereka masih diliputi ketidakpastian.
5. Seruan untuk Aksi Nyata
Kondisi ini menjadi pengingat bahwa penanganan pascabencana tidak boleh berhenti pada tahap tanggap darurat. Pemulihan kehidupan warga memerlukan perhatian jangka panjang, terutama dalam hal perumahan layak, akses kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi.
Pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, serta masyarakat luas diharapkan dapat bekerja sama agar penyintas segera memperoleh hak atas tempat tinggal yang aman dan permanen.
Bencana boleh saja berlalu, tetapi luka sosial dan ekonomi yang ditinggalkannya membutuhkan waktu dan komitmen nyata untuk disembuhkan. Bagi para penyintas, harapan itu belum padam — mereka hanya menunggu janji yang benar-benar diwujudkan.
Seperti kata salah satu warga, “Kami tidak minta lebih, hanya ingin hidup normal lagi seperti dulu.”
