jelajahhijau.com Isu keamanan pangan kembali mencuat setelah muncul laporan mengenai temuan buah anggur hijau yang diduga mengandung zat kimia berbahaya sianida (CN). Temuan ini terungkap dari hasil pemeriksaan terhadap salah satu menu dalam program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah dijalankan di sejumlah daerah.
Anggota Komisi IV DPR RI, Rajiv, menyoroti serius peristiwa tersebut. Ia menilai bahwa kasus ini merupakan peringatan keras bagi pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap rantai impor pangan dan distribusinya di dalam negeri.
Menurut hasil uji laboratorium, kadar sianida yang terdeteksi mencapai sekitar 30 miligram per liter, jumlah yang jelas berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Sianida sendiri dikenal sebagai senyawa beracun yang dalam kadar tertentu dapat mengganggu sistem pernapasan bahkan berakibat fatal jika dikonsumsi secara terus-menerus.
Kasus Berawal dari Pemeriksaan Program Gizi
Rajiv menjelaskan bahwa temuan tersebut pertama kali diungkap oleh Satuan Penyelenggara Program Gizi (SPPG) Polres Sukoharjo, Jawa Tengah. Pemeriksaan dilakukan sebagai bagian dari upaya memastikan kualitas bahan pangan dalam program Makanan Bergizi Gratis yang disalurkan ke masyarakat.
Dari hasil penelusuran awal, diketahui bahwa buah anggur hijau yang terkontaminasi diduga berasal dari impor. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya residu zat kimia yang tidak seharusnya ada pada buah konsumsi.
“Ini menjadi peringatan keras bagi seluruh instansi terkait. Pemerintah harus memastikan setiap produk pangan, khususnya yang diimpor, sudah melalui tahapan pengawasan yang ketat sebelum beredar di pasaran,” ujar Rajiv.
Desakan Pengawasan Impor yang Lebih Ketat
Rajiv menegaskan bahwa seluruh buah impor yang masuk ke Indonesia wajib memenuhi izin Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) serta memiliki Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Pertanian. Kedua dokumen tersebut menjadi dasar legalitas agar produk impor dapat diawasi dan terjamin keamanannya.
Ia menilai, lemahnya pengawasan di lapangan sering kali dimanfaatkan oleh oknum importir nakal untuk memasukkan produk yang tidak memenuhi standar. Akibatnya, produk tersebut berpotensi mengandung zat berbahaya atau pestisida di atas ambang batas aman.
“Jika ada pelanggaran, maka bukan hanya importirnya yang harus ditindak, tapi juga jalur pengawasan yang lalai perlu dievaluasi. Keamanan pangan adalah tanggung jawab bersama,” tegasnya.
Dampak Sianida terhadap Kesehatan
Zat sianida dikenal sebagai racun yang sangat kuat. Dalam dosis kecil sekalipun, senyawa ini dapat menimbulkan gangguan serius pada tubuh manusia. Gejalanya meliputi pusing, mual, muntah, hingga gangguan pernapasan. Jika dikonsumsi dalam kadar tinggi, sianida bisa menyebabkan kerusakan organ vital dan kematian.
Para ahli gizi menilai bahwa keberadaan sianida dalam bahan pangan, meskipun dalam kadar rendah, tetap harus menjadi perhatian utama. Konsumsi jangka panjang dapat menimbulkan efek akumulatif di dalam tubuh. Oleh karena itu, pemerintah diminta segera menindaklanjuti kasus ini dan melakukan penelusuran menyeluruh terhadap rantai pasok anggur hijau impor yang diduga menjadi sumber kontaminasi.
Peran Pemerintah dalam Keamanan Pangan
Rajiv meminta Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk berkoordinasi secara terpadu dalam menangani kasus ini. Menurutnya, keamanan pangan tidak boleh dianggap enteng karena menyangkut kesehatan masyarakat secara langsung.
Ia juga menyoroti pentingnya memperkuat sistem traceability atau pelacakan asal-usul produk pangan impor. Dengan sistem tersebut, pemerintah dapat segera mengetahui dari mana barang berasal, siapa importirnya, dan di mana produk itu beredar.
“Kita tidak bisa lagi bekerja dengan sistem reaktif yang baru bergerak setelah ada korban. Pengawasan harus bersifat preventif, bukan hanya korektif,” kata Rajiv.
Selain itu, ia mendorong agar pemerintah memperluas fasilitas laboratorium uji pangan di daerah-daerah agar proses pemeriksaan bisa dilakukan dengan cepat tanpa harus menunggu hasil dari pusat.
Perlunya Edukasi dan Transparansi
Kasus ini juga menyoroti pentingnya edukasi publik terkait keamanan konsumsi pangan, terutama produk impor. Masyarakat perlu memahami bahwa tidak semua buah impor otomatis aman dikonsumsi tanpa pencucian dan pemeriksaan yang benar.
Rajiv menyarankan agar pemerintah memperketat proses sertifikasi dan labeling produk, termasuk menampilkan informasi asal produk secara jelas di kemasan. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah seperti Makanan Bergizi Gratis.
“Transparansi menjadi kunci. Masyarakat berhak tahu dari mana bahan makanan mereka berasal dan apakah sudah aman dikonsumsi,” tambahnya.
Seruan untuk Evaluasi Program
Lebih jauh, Rajiv meminta evaluasi menyeluruh terhadap program Makanan Bergizi Gratis, terutama dalam hal pemilihan pemasok bahan pangan. Ia menegaskan bahwa niat baik program tersebut tidak boleh dicederai oleh kelalaian dalam pengawasan mutu.
Menurutnya, pemerintah daerah dan pelaksana program harus memastikan semua bahan makanan yang digunakan berasal dari sumber yang jelas dan terverifikasi. Kualitas gizi tidak hanya diukur dari kandungan nutrisi, tetapi juga dari keamanan pangan yang dikonsumsi masyarakat.
“Program ini bagus dan sangat dibutuhkan masyarakat, namun pelaksanaannya harus profesional. Jangan sampai ada satu kasus yang menurunkan kepercayaan publik,” ujar Rajiv.
Penutup
Kasus temuan anggur hijau yang diduga mengandung sianida menjadi peringatan serius bagi seluruh pihak. Pemerintah harus memperkuat pengawasan rantai pasok, menindak tegas pelaku pelanggaran impor, dan memastikan bahwa setiap bahan pangan yang beredar benar-benar aman.
Langkah cepat, transparan, dan tegas menjadi kunci untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, lembaga pengawas, dan masyarakat, keamanan pangan di Indonesia dapat terus dijaga demi kesehatan dan keselamatan seluruh warga.

Cek Juga Artikel Dari Platform radarjawa.web.id
