jelajahhijau.com Siapa sangka keberadaan ruang terbuka hijau ternyata memiliki kaitan langsung dengan kesehatan mental manusia? Sebuah studi internasional baru-baru ini menemukan bahwa lingkungan dengan lebih banyak pepohonan dan vegetasi dapat menurunkan risiko seseorang mengalami gangguan mental. Hasil penelitian ini menjadi bukti ilmiah bahwa alam memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan psikologis manusia, terutama di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan.
Penelitian berskala besar ini dilakukan oleh tim ilmuwan dari berbagai negara. Mereka menganalisis data dari 11,4 juta pasien rawat inap di rumah sakit jiwa yang tersebar di 6.842 lokasi di tujuh negara selama lebih dari dua dekade. Jumlah data yang masif ini menjadikan riset tersebut salah satu studi paling komprehensif yang pernah dilakukan mengenai hubungan antara ruang hijau dan kesehatan mental.
Metode Pengukuran dengan NDVI
Para peneliti menggunakan teknologi satelit yang dikenal dengan nama Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) atau Indeks Vegetasi Perbedaan Ternormalisasi. Metode ini biasanya digunakan untuk mengukur tingkat kehijauan dan aktivitas fotosintesis tanaman di suatu wilayah. Semakin tinggi nilai NDVI, semakin besar pula jumlah vegetasi atau pepohonan di area tersebut.
Melalui NDVI, para ilmuwan mampu menilai secara objektif seberapa hijau lingkungan tempat tinggal responden. Data tersebut kemudian dibandingkan dengan angka kejadian gangguan mental yang tercatat di rumah sakit. Hasilnya menunjukkan korelasi kuat antara paparan lingkungan hijau dengan rendahnya tingkat rawat inap akibat gangguan mental.
Dalam penjelasan hasil studi yang dimuat oleh jurnal Earth, disebutkan bahwa peningkatan area hijau di lingkungan perkotaan mampu menurunkan angka kasus rawat inap hingga beberapa persen. Temuan ini memberi gambaran bahwa menanam lebih banyak pohon bukan hanya soal estetika kota, tetapi juga strategi nyata untuk menjaga kesehatan masyarakat.
Dampak Positif Ruang Hijau terhadap Kesehatan Mental
Ruang terbuka hijau menawarkan berbagai manfaat psikologis. Alam memberikan efek menenangkan yang dapat menurunkan kadar stres, memperbaiki suasana hati, dan meningkatkan fokus. Banyak penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa beraktivitas di alam terbuka dapat menurunkan risiko depresi, kecemasan, dan kelelahan mental.
Paparan sinar matahari, udara segar, dan suara alam terbukti membantu tubuh menghasilkan hormon serotonin dan dopamin, dua zat kimia penting yang berperan dalam mengatur emosi dan kebahagiaan. Selain itu, kehadiran ruang hijau juga mendorong aktivitas fisik seperti berjalan kaki atau bersepeda, yang berdampak positif terhadap kesehatan otak.
Dengan kata lain, lingkungan hijau tidak hanya membuat kota terlihat lebih indah, tetapi juga membantu otak manusia bekerja lebih sehat.
Ketimpangan Akses Ruang Hijau
Meski manfaatnya sudah terbukti, akses terhadap ruang hijau belum merata. Di banyak kota besar, ruang terbuka hijau sering tergantikan oleh kawasan industri, permukiman padat, atau pusat perbelanjaan. Akibatnya, masyarakat perkotaan sering hidup di lingkungan yang minim pepohonan dan ruang terbuka.
Kondisi ini berpotensi memperburuk masalah kesehatan mental. Polusi udara, kebisingan, dan kepadatan populasi menjadi faktor tambahan yang menekan kesejahteraan psikologis warga kota. Para peneliti menekankan bahwa pemerintah daerah perlu menjadikan pembangunan ruang hijau sebagai prioritas kebijakan publik.
Penyediaan taman kota, jalur hijau, dan hutan kota tidak hanya berfungsi sebagai paru-paru lingkungan, tetapi juga sebagai “terapi alami” bagi warga. Dengan meningkatnya kasus stres dan depresi di era modern, ruang hijau kini menjadi kebutuhan dasar, bukan sekadar pelengkap.
Studi Global dan Implikasinya
Hasil penelitian lintas negara ini menunjukkan bahwa efek ruang hijau bersifat universal, meskipun intensitasnya bisa berbeda tergantung pada iklim dan pola tata kota. Negara-negara dengan kebijakan pelestarian lingkungan yang kuat, seperti Denmark dan Kanada, cenderung memiliki tingkat gangguan mental yang lebih rendah dibanding negara dengan urbanisasi ekstrem.
Para peneliti menyimpulkan bahwa setiap penambahan 10% area vegetasi di sekitar permukiman dapat mengurangi risiko gangguan mental secara signifikan. Bahkan, hanya dengan tinggal lebih dekat ke taman atau area hijau, seseorang sudah mendapatkan manfaat psikologis yang nyata.
Implikasi bagi Indonesia
Temuan ini relevan bagi Indonesia, terutama kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung yang menghadapi masalah keterbatasan ruang hijau. Berdasarkan standar World Health Organization (WHO), idealnya setiap kota menyediakan minimal 30% dari total luas wilayahnya untuk ruang terbuka hijau. Sayangnya, sebagian besar kota di Indonesia masih jauh dari angka tersebut.
Pemerintah dapat menjadikan hasil studi ini sebagai acuan dalam perencanaan tata ruang. Meningkatkan area hijau bukan hanya investasi lingkungan, tetapi juga investasi sosial yang berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup masyarakat. Dengan semakin tingginya angka gangguan mental di perkotaan, pembangunan taman kota dan kawasan hijau publik bisa menjadi solusi jangka panjang yang efektif.
Kesimpulan
Penelitian global ini memperkuat keyakinan bahwa kesehatan mental dan lingkungan hidup saling terkait erat. Ruang terbuka hijau bukan hanya elemen estetika kota, melainkan bagian penting dari infrastruktur kesejahteraan manusia.
Menanam pohon, memperluas taman, dan menjaga kelestarian vegetasi dapat menjadi langkah kecil yang menghasilkan dampak besar. Setiap pohon yang tumbuh bukan sekadar menghasilkan oksigen, tetapi juga menciptakan kedamaian batin bagi mereka yang hidup di sekitarnya.
Di tengah hiruk pikuk modernitas, ruang hijau adalah oase ketenangan. Ia mengingatkan manusia bahwa keseimbangan antara alam dan pikiran adalah kunci menuju kehidupan yang sehat, harmonis, dan berkelanjutan.

Cek Juga Artikel Dari Platform kalbarnews.web.id
